Sabtu, 05 Januari 2013

Makalah Ushul Fiqih ('Urf dan Syar'un Man Qablana)

‘Urf Dan Syar’un Man Qablana


BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Telah diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan wahyu di muka bumi dan sebelum adanya Nabi Muhammad SAW sudah banyak Nabi-nabi sebelumnya. Tentunya zaman sebelum adanya Nabi,dan setelahnya memiliki perbedaan  bahkan kesamaan dalam adat kebiasaan dan syariat-syariatnya.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al -Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana.
Maka dalam kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang ‘urf dan syar’u man qoblana (syariat-syariat sebelum kita), berkaitan dengan apa saja adat kebiasaan dan syariat tersebut, bagaimana hukumnya untuk saat ini dan apa yang mendasarinya, semoga makalah kami yang ringkas ini dapat bermanfaat bagi kita semua sehingga nantinya dapat menambah sedikit keilmuan kita mengenai adat kebiasaan dan  syariat nabi-nabi sebelum kita.

B.       Rumusan Masalah
1.    Pengertian ‘urf dan syar’un man qablana
2.     Macam-macam ‘urf dan syar’un man qablana
3.    Dasar hukum ‘urf dan syar’un man qablana




BAB II
PEMBAHASAN
A.      ‘Urf
1.    Pengertian
‘Urf  ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Menurut Al-Ghazali ‘urf diartikan dengan: Keadaa yang sudah tetap pada jiwa manusia, dibenarkannya oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang sejahtera.[1] Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara ‘urf dan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa urf lebih umum di banding dengan  pengertian adat, Karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hokum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.[2]
Contohnya adalah dalam jual beli salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli adalah pada saat jual belidilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnyaa pada saat akad jual beli. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat,bahkan dapat memperlancar arus jual beli,maka salam itu dibolehkan.
2.    Macam-macam ‘urf
Ditinjau dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada:
a.    Al-‘urf al-lafzhi, ialah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain maka tidak dinamakan ‘urf.
b.    Al-‘urf al-qauli, ialah ‘urf yang berupa perkataan. Atau kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contonya, perkataan waladun menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Contoh lain adalah perkataan lahmun, menurut bahasa bermakna daging, termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan. Akan tetapi dalam percakapan sehari-hari, lahmun diartikan dengan daging binatang darat saja dan tidak termasuk ikan.
c.    Al-‘urf al-amali,ialah ‘urf yang berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual-beli. Padahal menurut syara’, shighat jual-beli itu merupakan salah satu rukun jual-beli. Tetapi Karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual-beli tanpa shighat jual-beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara’ membolehkannya.
Ditinjau dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf dibagi kepada:
a.    Al-‘urf shahih adalah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Atau kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat al-quran atau hadist), tidak menghilang kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
b.    Al-‘urf fasid adalah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’. Atau kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Ditinjau dari segi cakupannya, ‘urf dibagi kepada:
a.    Al-‘urf al-‘amm adalah ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa, dan keadaan. Atau kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Contohnya seperti member hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucap terima kasih kepada orang yang telah membantu kita.
b.    Al-‘urf al khash adalah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa, dan keadaan tertentu saja. Atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Contohnya mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada Negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.[3]
3.    Dasar hukum ‘urf
Para ulama sepakat bahwa ‘urf dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara’ dan memenuhi syarat sebagai berikut.
a.    ‘Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum ataupun yang bersifat perbuatan dan ucapan) berlaku secara umum, artinya ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
b.    ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c.    ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinys, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan.
d.   ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itu tidak bias ditetapkan. ‘urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’, karena ke-hujjah-an ‘urf bias diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.



B.       Syar’un Man Qablana
1.    Pengertian dan Dasar huhum Syar’un Man Qablana
Syar’un man qablana adalah syariat yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus  Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syariat Nabi Ibrahim as., syariat Nabi Musa as., syariat Nabi Daud as., dan sebagainya.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:
Artinya :Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang diwajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai-berai padanya…. ( QS. Asy-Syura (42): 13)
Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.[4]
Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam).



2.    Macam-macam syar’un man qablana
Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari’at Nabi Muhammad SAW dengan syari’at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a.    Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, tetapi Al-qur’an dan hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkan atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW
b.    Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW.
c.    Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Al-qur’an dan hadis menerangkannya kepada kita.[5]
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
‘Urf  ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara ‘urf dan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa urf lebih umum di banding dengan  pengertian adat, Karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka.
Syar’un man qablana adalah syariat yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus  Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syariat Nabi Ibrahim as., syariat Nabi Musa as., syariat Nabi Daud as., dan sebagainya. Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan.

DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro,  Totok, 1998. ‘’ Kamus Ilmu Ushul Fiqih’’.  Solo: Sinar Grafika            Offset.

Nasution, Harun, 1996. “ Ushul Fiqih’’. Jakarta: UI Press.

Umar,Muin, 1985. ‘’ Ushul Fiqh”. Jakarta: Min Mata’s Printing.



[1] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah,(Solo: Sinar Grafika Offset, 1998), hlm. 334.
[2] Muin Umar, Ushul Fiqh, (Jakarta: Min Mata’s Printing, 1985), hlm. 150.
[3] Muin Umar,dkk,Ushul Fiqih, (Jakarta: Min mata’s printing, 1985), hlm. 152-153.
[4] Ibid. hlm. 153-154.
[5]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah,(Solo: Sinar Grafika Offset, 1998), hlm. 309.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar