‘Urf Dan Syar’un Man Qablana
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Telah diketahui
bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir yang diperintahkan oleh Allah
SWT untuk menyampaikan wahyu di muka bumi dan sebelum adanya Nabi Muhammad SAW
sudah banyak Nabi-nabi sebelumnya. Tentunya zaman sebelum adanya Nabi,dan
setelahnya memiliki perbedaan bahkan
kesamaan dalam adat kebiasaan dan syariat-syariatnya.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang
disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah
disepakati adalah Al -Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi
keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum
islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah Mursalah,
Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man
Qablana.
Maka dalam kesempatan kali
ini, kami akan membahas tentang ‘urf dan syar’u man qoblana
(syariat-syariat sebelum kita), berkaitan dengan apa saja adat kebiasaan dan syariat
tersebut, bagaimana hukumnya untuk saat ini dan apa yang mendasarinya, semoga
makalah kami yang ringkas ini dapat bermanfaat bagi kita semua sehingga
nantinya dapat menambah sedikit keilmuan kita mengenai adat kebiasaan dan syariat nabi-nabi sebelum kita.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
‘urf dan syar’un man qablana
2.
Macam-macam ‘urf dan syar’un man qablana
3.
Dasar
hukum ‘urf dan syar’un man qablana
BAB II
PEMBAHASAN
A.
‘Urf
1.
Pengertian
‘Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh
masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Menurut Al-Ghazali ‘urf diartikan dengan: Keadaa yang sudah
tetap pada jiwa manusia, dibenarkannya oleh akal dan diterima pula oleh tabiat
yang sejahtera.[1]
Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut dengan adat (adat kebiasaan).
Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara
‘urf dan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa urf lebih umum di banding
dengan pengertian adat, Karena adat di
samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan
mereka, seakan-akan telah merupakan hokum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi
terhadap orang yang melanggarnya.[2]
Contohnya adalah
dalam jual beli salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi
syarat jual beli. Menurut syarat jual beli adalah pada saat jual
belidilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak
penjual penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam
barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnyaa pada saat akad jual beli.
Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat,bahkan dapat
memperlancar arus jual beli,maka salam itu dibolehkan.
2.
Macam-macam
‘urf
Ditinjau dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada:
a.
Al-‘urf
al-lafzhi, ialah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Apabila
dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain maka tidak dinamakan ‘urf.
b.
Al-‘urf al-qauli,
ialah ‘urf yang berupa perkataan. Atau kebiasaan yang berlaku dalam
penggunaan kata-kata atau ucapan. Contonya, perkataan waladun menurut
bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan.
Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja.
Contoh lain adalah perkataan lahmun, menurut bahasa bermakna daging,
termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan
ikan. Akan tetapi dalam percakapan sehari-hari, lahmun diartikan dengan
daging binatang darat saja dan tidak termasuk ikan.
c.
Al-‘urf al-amali,ialah
‘urf yang berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual-beli dalam masyarakat tanpa
mengucapkan shighat akad jual-beli. Padahal menurut syara’, shighat jual-beli
itu merupakan salah satu rukun jual-beli. Tetapi Karena telah menjadi kebiasaan
dalam masyarakat melakukan jual-beli tanpa shighat jual-beli dan tidak terjadi
hal-hal yang tidak diingini, maka syara’ membolehkannya.
Ditinjau dari segi keabsahannya dari
pandangan syara’, ‘urf dibagi kepada:
a.
Al-‘urf
shahih adalah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan
dengan syara’. Atau kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash (ayat al-quran atau hadist), tidak menghilang
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
b.
Al-‘urf
fasid adalah ‘urf yang tidak baik dan
tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’. Atau kebiasaan yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam
syara’.
Ditinjau dari segi cakupannya, ‘urf
dibagi kepada:
a.
Al-‘urf
al-‘amm adalah ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa, dan keadaan. Atau
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di
seluruh daerah. Contohnya seperti member hadiah (tip) kepada orang yang telah
memberikan jasanya kepada kita, mengucap terima kasih kepada orang yang telah
membantu kita.
b.
Al-‘urf
al khash adalah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa, dan keadaan tertentu
saja. Atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Contohnya
mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang
beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan,
sedang pada Negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.[3]
3.
Dasar
hukum ‘urf
Para ulama
sepakat bahwa ‘urf dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan
dengan syara’ dan memenuhi syarat sebagai berikut.
a.
‘Urf
itu (baik yang bersifat khusus dan umum ataupun yang bersifat perbuatan dan
ucapan) berlaku secara umum, artinya ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat.
b.
‘Urf
itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu
muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada
sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c.
‘Urf
itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi. Artinys, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah
menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan.
d.
‘Urf
itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung
nash itu tidak bias ditetapkan. ‘urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil
syara’, karena ke-hujjah-an ‘urf bias diterima apabila tidak ada nash yang
mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
B.
Syar’un Man Qablana
1.
Pengertian
dan Dasar huhum Syar’un Man Qablana
Syar’un man
qablana adalah syariat yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi
kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syariat Nabi Ibrahim as., syariat
Nabi Musa as., syariat Nabi Daud as., dan sebagainya.
Pada asas syari'at yang
diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan
syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan
pada firman Allah SWT:
Artinya :Dia
(Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang diwajibkan
kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama
itu dan janganlah kamu bercerai-berai padanya…. ( QS. Asy-Syura (42): 13)
Diantara asas yang sama itu ialah
yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla
dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai
perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini
disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari'at
umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan
syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.[4]
Istilah
syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya
syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Imam
al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat syar’u man qablana pada intinya
adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at
Nabi Muhammad (Islam).
2.
Macam-macam
syar’un man qablana
Sesuai dengan
ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari’at Nabi Muhammad SAW dengan
syari’at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a.
Syariat
yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, tetapi Al-qur’an dan hadis
tidak menyinggungnya, baik membatalkan atau menyatakan berlaku pula bagi umat
Nabi Muhammad SAW
b.
Syariat
yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak
berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW.
c.
Syariat
yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Al-qur’an dan
hadis menerangkannya kepada kita.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
‘Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh
masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut dengan adat
(adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan
pengertian antara ‘urf dan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
urf lebih umum di banding dengan
pengertian adat, Karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat,
juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka.
Syar’un man
qablana adalah syariat yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi
kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syariat Nabi Ibrahim as., syariat
Nabi Musa as., syariat Nabi Daud as., dan sebagainya. Istilah syar’u man qablana
lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam
sebagai agama ketika dilahirkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Jumantoro, Totok, 1998. ‘’ Kamus Ilmu Ushul Fiqih’’. Solo: Sinar Grafika Offset.
Nasution, Harun, 1996. “ Ushul Fiqih’’. Jakarta: UI Press.
Umar,Muin,
1985. ‘’ Ushul Fiqh”. Jakarta: Min Mata’s Printing.
[1]
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah,(Solo: Sinar Grafika
Offset, 1998), hlm. 334.
[2] Muin
Umar, Ushul Fiqh, (Jakarta: Min Mata’s Printing, 1985), hlm. 150.
[3]
Muin Umar,dkk,Ushul Fiqih, (Jakarta: Min mata’s printing, 1985), hlm.
152-153.
[4] Ibid.
hlm. 153-154.
[5]Totok
Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah,(Solo: Sinar Grafika Offset,
1998), hlm. 309.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar